JAKARTA, Pelitajakarta.com – Pemanasan global telah menjadi suatu polemik yang ramai didiskusikan di berbagai belahan dunia pada beberapa tahun terakhir. Hal ini juga membuat pemerintah Indonesia mencanangkan untuk mencapai target 23% energi terbarukan pada tahun 2025.
PLTA Batangtoru yang akan dibangun dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2022, membantu menjawab krisis pemanasan global tersebut dengan mengurangi emisi karbon sebanyak 1,6 Megaton CO2 pada saat beroperasi.
Dalam konteks global, pembangunan PLTA Batangtoru akan mengakomodasi agenda internasional yang tertuang dalam kriteria Sustainble Development Goals (SDGs) sesuai ketetapan PBB tahun 2015.
PLTA Batangtoru yang dikembangkan dan dirancang dengan daya terpasang 510 MW yang berasal dari Kolam Harian berukuran kecil seluas 90 ha telah memenuhi sejumlah persyaratan pemerintah Indonesia seperti perizinan terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), analisa risiko lingkungan, aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup serta perizinan lain terkait lingkungan dan pembangunan.
Pernyataan itu dikemukakan Agus Supriono, Manajer Humas PT North Sumatra Hydro Energi (NSHE) yang merupakan pemilik PLTA Batangtoru pada keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (14/5).
Agus mengungkapkan, PLTA Batangtoru dibangun pada Area Penggunaan Lain (APL) dan secara hukum bukan merupakan kawasan hutan. APL Batangtoru merupakan kawasan yang dicadangkan dan dialokasikan pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, provinsi Sumut dan telah sesuai dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik.
“Kami sangat memahami hutan merupakan bagian penting sebagai penjaga lingkungan dan penyangga kehidupan. Untuk itu, kami tidak akan pernah mengorbankan hutan apalagi hutan primer dan kawasan konservasi serta merusak keanekaragaman hayati dalam pembangunan PLTA. Hal ini sudah menjadi komitmen kami sejak awal,” kata Agus.
Sebaliknya, hutan yang terjaga justru menjadi bagian penting dari program pembangunan PLTA Batangtoru untuk menjamin ketersediaan air sebagai bahan baku utama.”Jika hutan rusak akan berpengaruh pada ketersediaan pasokan air penggerak turbin,“ kata Agus.
Selain mempertahankan kawasan hutan yang ada di sekitar konsesi PLTA, menurut Agus, pihaknya akan menanam bibit pohon dan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga lingkungan kepada masyarakat dan mencegah perburuan liar.
Dia menambahkan, sejalan dengan tuntutan global tentang perlunya menjaga keseimbangan lingkungan untuk masa depan bumi yang lebih baik, pihaknya akan mengimplementasikan teknologi ramah lingkungan dalam pembangunan PLTA.
“Dengan teknologi yang terus berkembang saat ini dimungkinkan untuk membangun PLTA dengan genangan pada kolam harian berukuran kecil terdiri dari 24 ha badan sungai yang sudah ada dan 66 ha tambahan area yang akan menggenangi daerah yang sangat curam dan tidak terdapat pemukiman penduduk,” katanya.
Konsep ini dikenal sebagai Run off river Hydropower. Secara sederhana, prinsip kerjanya dilakukan dengan memanfaatkan aliran air sungai tanpa perlu membangun bendungan yang menimbulkan daerah genangan luas. Karena itu, penggunaan pipa pesat (penstock) menjadi bagian penting untuk mengalirkan energi dalam air dengan memanfaatkan gravitasi dan mempertahankan tekanan air jatuh sebelumnya dialirkan menuju turbin.
“Teknologi teranyar yang terus dikembangkan dan diperbaharui ini, dipakai di banyak negara maju yang memanfaatkan air sebagai sumber penggerak turbin utama,” kata Agus.
Agus menambahkan, PLTA Batangtoru merupakan bagian penting dari pembangunan infrastruktur dan ekonomi di Sumatera Utara untuk memenuhi pasokan listrik masyarakat.
PLTA Batangtoru juga merupakan pembangkit listrik masa depan berwawasan lingkungan yang dipersiapkan untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. “Dunia saat ini tidak bisa terus bergantung pada pemanfaatan pembangkit berbahan baku energi fosil karena menimbulkan banyak kerusakan akibat persediaan bahan baku yang terbatas serta menghasilkan emisi gas karbon yang tinggi”.
Pembangunan PLTA Batang Toru dengan kapasitas 4×127,5 MW ini berlokasi di Sungai Batangtoru, Desa Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.
Target operasi (commercial operation date/COD) PLTA Batangtoru pada 2022 sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016. Secara teknis, proyek ini berupa peaker yakni hanya beroperasi saat terjadi beban puncak kebutuhan listrik.
pada beberapa tahun terakhir. Hal ini juga membuat pemerintah Indonesia mencanangkan untuk mencapai target 23% energi terbarukan pada tahun 2025.
PLTA Batangtoru yang akan dibangun dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2022, membantu menjawab krisis pemanasan global tersebut dengan mengurangi emisi karbon sebanyak 1,6 Megaton CO2 pada saat beroperasi.
Dalam konteks global, pembangunan PLTA Batangtoru akan mengakomodasi agenda internasional yang tertuang dalam kriteria Sustainble Development Goals (SDGs) sesuai ketetapan PBB tahun 2015.
PLTA Batangtoru yang dikembangkan dan dirancang dengan daya terpasang 510 MW yang berasal dari Kolam Harian berukuran kecil seluas 90 ha telah memenuhi sejumlah persyaratan pemerintah Indonesia seperti perizinan terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), analisa risiko lingkungan, aspek-aspek sosial dan lingkungan hidup serta perizinan lain terkait lingkungan dan pembangunan.
Pernyataan itu dikemukakan Agus Supriono, Manajer Humas PT North Sumatra Hydro Energi (NSHE) yang merupakan pemilik PLTA Batangtoru pada keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (14/5).
Agus mengungkapkan, PLTA Batangtoru dibangun pada Area Penggunaan Lain (APL) dan secara hukum bukan merupakan kawasan hutan. APL Batangtoru merupakan kawasan yang dicadangkan dan dialokasikan pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, provinsi Sumut dan telah sesuai dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik.
“Kami sangat memahami hutan merupakan bagian penting sebagai penjaga lingkungan dan penyangga kehidupan. Untuk itu, kami tidak akan pernah mengorbankan hutan apalagi hutan primer dan kawasan konservasi serta merusak keanekaragaman hayati dalam pembangunan PLTA. Hal ini sudah menjadi komitmen kami sejak awal,” kata Agus.
Sebaliknya, hutan yang terjaga justru menjadi bagian penting dari program pembangunan PLTA Batangtoru untuk menjamin ketersediaan air sebagai bahan baku utama.”Jika hutan rusak akan berpengaruh pada ketersediaan pasokan air penggerak turbin,“ kata Agus.
Selain mempertahankan kawasan hutan yang ada di sekitar konsesi PLTA, menurut Agus, pihaknya akan menanam bibit pohon dan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga lingkungan kepada masyarakat dan mencegah perburuan liar.
Dia menambahkan, sejalan dengan tuntutan global tentang perlunya menjaga keseimbangan lingkungan untuk masa depan bumi yang lebih baik, pihaknya akan mengimplementasikan teknologi ramah lingkungan dalam pembangunan PLTA.
“Dengan teknologi yang terus berkembang saat ini dimungkinkan untuk membangun PLTA dengan genangan pada kolam harian berukuran kecil terdiri dari 24 ha badan sungai yang sudah ada dan 66 ha tambahan area yang akan menggenangi daerah yang sangat curam dan tidak terdapat pemukiman penduduk,” katanya.
Konsep ini dikenal sebagai Run off river Hydropower. Secara sederhana, prinsip kerjanya dilakukan dengan memanfaatkan aliran air sungai tanpa perlu membangun bendungan yang menimbulkan daerah genangan luas. Karena itu, penggunaan pipa pesat (penstock) menjadi bagian penting untuk mengalirkan energi dalam air dengan memanfaatkan gravitasi dan mempertahankan tekanan air jatuh sebelumnya dialirkan menuju turbin.
“Teknologi teranyar yang terus dikembangkan dan diperbaharui ini, dipakai di banyak negara maju yang memanfaatkan air sebagai sumber penggerak turbin utama,” kata Agus.
Agus menambahkan, PLTA Batangtoru merupakan bagian penting dari pembangunan infrastruktur dan ekonomi di Sumatera Utara untuk memenuhi pasokan listrik masyarakat.
PLTA Batangtoru juga merupakan pembangkit listrik masa depan berwawasan lingkungan yang dipersiapkan untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. “Dunia saat ini tidak bisa terus bergantung pada pemanfaatan pembangkit berbahan baku energi fosil karena menimbulkan banyak kerusakan akibat persediaan bahan baku yang terbatas serta menghasilkan emisi gas karbon yang tinggi”.
Pembangunan PLTA Batang Toru dengan kapasitas 4×127,5 MW ini berlokasi di Sungai Batangtoru, Desa Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.
Target operasi (commercial operation date/COD) PLTA Batangtoru pada 2022 sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016. Secara teknis, proyek ini berupa peaker yakni hanya beroperasi saat terjadi beban puncak kebutuhan listrik.