JAKARTA, Pelitajakarta.com – Rangkaian Diskusi Panel Serial 2017 – 2018, digelar dengan tema ATHG DARI DALAM NEGERI (Sumber Daya Alam). Hadir sebagai narasumber dalam DPS Seri ke-11 ini, adalah: Ir. Siswono Yudo Husodo (Mantan Menteri Menteri Negara Perumahan Rakyat 1988-1993 dan Menteri Transmigrasi 1993-1998). Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Utusan Khusus Presiden Untuk Pengendalian Perubahan Iklim). Selain itu hadir pula Ketua FKPPI sekaligus Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo, serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator DPS.
Masalah pangan, air, dan lingkungan hidup merupakan masalah mendasar bagi kelangsungan hidup bangsa. Pakar lingkungan Jared Diamond dalam bukunya Collapse, membuktikan bahwa banyak peradaban di masa lampau telah lenyap oleh rusaknya lingkungan.
Jared Diamond juga memperingatkan bahwa Indonesia juga bisa mengalami nasib yang sama jika bangsa Indonesia tidak mengambil langkah-langkah pencegahan yang bijaksana. Untuk itulah perlu dilakukan upaya lebih, agar masalah pangan, air, dan lingkungan dikelola dengan lebih baik agar masalah tersebut tidak memiliki konsekuensi politik dan keamanan yang serius.
Menurut Pontjo Sutowo, pada saat ini Indonesia terjadi mismatch antara ketersediaan pangan dengan pertambahan penduduk di Indonesia. Mismatch tersebut selain timbul karena masalah alamiah juga karena kesalahan kebijakan pemerintah dan perbuatan warga masyarakat sendiri. Sayangnya penyebab masalah kesalahan pemerintah dan perbuatan warga masyarakat sendiri tersebut, dirasakan lebih besar.
“Sudah seharusnya bentuk negara kesatuan dan sistem pemerintahan presidensial, dapat merencanakan keseluruhan masalah tersebut dengan lebih terpadu, efektif, dan efisien. Sehingga bangsa ini mampu mengembangkan pola manajemen strategis yang mumpuni dan dapat menangani masalah-masalah tersebut tidak secara terfragmentasi”, kata Pontjo Sutowo.
Namun dalam kenyataannya, menurut Pontjo Sutowo kembali, hal tersebut belum terjadi. Karena itu sudah saatnya bangsa ini memikirkan adanya kebijakan yang lebih terpadu guna mengkristalisasikan lessons learned yang sudah diperoleh.
Sementara itu menurut menurut Siswono Yudo Husodo pada saat ini pangan Indonesia sangat tergantung pada impor. Kenyataan ini menyebabkan Indonesia tidak memiliki kemandirian pangan. Prosentase impor terhadap kebutuhan pangan misalnya, Indonesia menduduki kondisi yang kritis.
Prosentase impor Bawang Putih dicatat sebesar 90%, Kedelai 63%, Susu 84%, Garam 55%, Beras 5%, Daging Sapi 20%, Gandum 100%, dan Gula 37%. Pada Desember 2017, angka impor barang konsumsi mencapai 1,37 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 18,49 triliun, tertinggi sepanjang sejarah untuk hitungan per bulan. Dan diperkirakan pada tahun 2020, Indonesia diperkirakan harus mengimpor pangan senilai Rp 1.500 triliun.
Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia harus segera memperluas lahan pangan yang ada, selain itu juga berhati-hati terhadap konspirasi asing yang ingin menguasai pertanian dan pangan Indonesia.
“Kita harus belajar dari kesalahan di masa lalu yang sekarang ini telah membuat Indonesia masuk dalam the food trap karena mendorong diversifikasi pangan ke arah yang salah dengan menempatkan gandum sebagai basis pangan alternatif. Sejak pemerintah membuka diri pada bantuan Amerika melalui PL-408 di awal tahun 70-an, secara bertahap bangsa ini menjadi bangsa pemakan gandum, yang tidak bisa diproduksi sendiri’, kata Siswono Yudo Husodo.
Ditempatkan yang sama, Rachmat Witoelar menyatakan jika Indonesia perlu berhati-hati terhadap perubahan iklim di dunia. Hal ini karena pengaruh perubahan iklim mampu menjadi ancaman terhadap keutuhan wilayah nasional, keamanan nasional, dan Integritas Nasional. Dengan adanya perubahan iklim yang menyebabkan kenaikan suhu bumi misalnya, maka permukaan air laut menjadi meningkat yang memicu mundurnya garis pantai yang berakibat akan munculnya perselisihan tentang wilayah maritim dan akses ke zona ekonomi eksklusif.
Karena itu, Indonesia perlu segera melakukan langkah adaptasi terhadap perubahan yang sudah terjadi. Pendekatan adaptasi tersebut perlu dilakukan secara proaktif.
“Langkah adaptasi itu misalnya dilakukan dengan melaksanakan pembangunan ramah iklim yang mempertimbangkan potensi untuk membatasi dan mengurangi gas rumah kaca”, kata Rachmat Witoelar. (ANP)