JAKARTA, Pelitajakarta.com – Sejumlah pengamat mengaku takjub setelah menyaksikan film Wage yang diputar perdana di Djakarta Theater, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, Sabtu (28/10/2017). Dalam acara diskusi yang menghadirkan tokoh intelektual dan pengamat, seperti Salim Said (Guru Besar Ilmu Politik), Asvi Warman Adam (Sejarawan LIPI), Bondan Nst, Wina Armada (pengamat film), Bens Leo (pengamat musik) serta Sukmawati (putri mantan presiden Soekarno) dan juga beberapa tokoh pendidikan, sepakat bahwa film Wage yang mengangkat kisah perjuangan pencipta lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’, Wage Supratman, merupakan film yang membuka wawasan masyarakat Indonesia.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan pada era ‘80-an, sebenarnya sosok WR Supratman sudah akan diangkat ke layar lebar oleh PPFN. “Tapi pemerintah akhirnya memutuskan untuk membuat film yang dinilai lebih penting, yakni ‘Pengkhianatan G30S/PKI’,” ujar Asvi.
Lebih lanjut, Asvi menjelaskan film Wage yang digarap sutradara John De Rantau ini sekaligus meluruskan kontroversi yang selama ini ada tentang sosok Wage Supratman melalui bukti yang akurat.
Hal senada juga diungkapkan pengamat Bondan Nst yang mengatakan bahwa film ini berbasis riset yang kuat, dapat dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Sementara itu, Salim Said yang sebelumnya juga dikenal sebagai pengamat film, pengamat militer dan kini menjadi Guru Besar Ilmu Politik, mengaku banyak hal yang baru ia ketahui dan pahami setelah menyaksikan film Wage. “Saya surprise. Bagi saya, pengetahuan saya mengenai Wage Supratman terbatas hanya sebagai pencipta lagu. Di film ini dia digambarkan sebagai pejuang, dan terlibat kegiatan bukan hanya lagu tapi fisik, termasuk demonstrasi di volksraad untuk memprotes pelarangan lagu Indonesia Raya,” kata Salim Said.
Hanya saja yang agak menggelitik bagi Salim Said adalah ketika penggambaran berlangsungnya sidang Kongres Pemuda, terutama saat terjadi perdebatan soal bahasa, antara orang Jawa dan non Jawa. “Penelitian saya kecil-kecilan menunjukkan bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang dipakai dalam komunikasi antara kesultanan Jogja dan kasunanan Surakarta, dengan pihak Batavia. Jadi bahasa itu sudah meluas dipakai, sehingga tentu logikanya sulit menerima kalau orang Jawa berkeras ngotot kita harus pakai bahasa Jawa. Tapi saya tidak ingin mendebat ini,” tandas wartawan senior berusia 74 tahun ini.