JAKARTA, Pelitajakarta.com – Saat ini tengah ramai diperbincangkan di media sosial terkait film ‘Naura dan Genk Juara’ yang dituding mendeskriditkan Islam.
Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud, Dr Maman Wijaya, dalam acara Pengumuman pemenang Lomba Kritik Film, di Jakarta, Rabu (22/11/2017) sempat menyinggung kehebohan atas film Naura & Genk Juara.
“Kritik film adalah bagian dari apresiasi. Pro dan kontra, boleh-boleh saja. Yang setuju dan tidak setuju, boleh-boleh saja. Tapi yang tidak boleh adalah saling menghujat. Kalau saling mengemukakan pendapat, walau berbeda tidak apa-apa. Yang perlu dihindari jika pendapat yang satu lebih benar dari yang lain, karena ini akan menimbulkan kerugian,” papar Maman.
Permasalahan yang tengah terjadi terhadap peredaran film Naura tersebut, sedikit banyak sejurus dengan kegiatan yang akan diselenggarakan pihak Pusbang Film Kemendikbud. Maman mengatakan, pihaknya sudah berencana untuk mengadakan pertemuan dengan kalangan wartawan, kritikus film atau penulis opini dan feature film, yang diisi dengan pemutaran film. “Dari sini kemudian, menginisiasi atau menulis tentang film yang ditonton tersebut, baik itu berupa kritik, opini atau feature. Kegiatan ini bisa dilakukan rutin ataupun periodik,” ungkap Maman.
“Hai ini baik, untuk memberikan pemahaman kita bersama agar menjadi lebih bagus. Ini untuk meliterasi para penulis dan juga meliterasi masyarakat,” kata Maman.
Sementara itu, sebelumnya pihak Lembaga Sensor Film (LSF), sebagai lembaga yang berwenang meloloskan film untuk sampai beredar ke bioskop-bioskop, turut buka suara.
Ketua LSF Ahmad Yani Basuki, menyebutkan, tidak ada masalah krusial dalam penayangan film tersebut. Menurutnya, tidak ada penggambaran spesifik atau kesan penegasan bahwa muslim itu jahat. “Jika dihubung-hubungkan dengan penista agama, rasanya terlalu jauh berspekulasi. Bagi LSF, tidak terlihat adanya bagian yang secara jelas mendeskriditkan Islam,” jelas Ahmad Basuki.
Pihak LSF dalam pernyataan tertulisnya menjabarkan tentang film Naura & Genk Juara adalah film musikal, seperti halnya film Petualangan Sherina, yang pernah beredar beberapa tahun silam. ‘Naura & Genk Juara’ berkisah tentang rombongan anak-anak sekolah yang cerdas dan kreatif, yang berkegiatan di sebuah hutan konservasi. Di tengah kegiatan itu, ada tiga orang penjahat yang melakukan pencurian hewan dari kandang konservasi, yang ternyata didalangi si petugas penjaga konservasi itu sendiri.
Ketiga penjahatnya bercambang dan bertampilan kasar, sebagaimana layaknya tampilan penjahat pada umumnya. Satu di antaranya, memakai celana pendek, bukan celana cingkrang. Oleh karena itu jauhlah dari gambaran saudara-saudara kita yang sering dipandang sebagai radikal/teroris, karena jenggot dan model celananya.
Sebagai film setting Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, bisa-bisa saja penjahatnya beragama Islam. Sama halnya jika dalam negara yang mayoritas penduduknya non muslim penjahat non muslim. (Seperti dalam film Home Alone, misalnya).
Ketika si penjahat di tengah malam di hutan lagi ketakutan karena mengira ada hantu, salah satunya berdoa. Karena dia muslim, dia bacanya doa Islam. Tapi yang dibaca salah ‘comot’, yaitu doa mau makan. Karena itu ditegur temannya, doanya salah, doa makan. Ketahuan penjahatnya muslim-nya karena dia baca doa itu, yang cenderung latah-latah juga. Tapi tidak ada penggambaran spesifik atau kesan penegsan bahwa muslim itu jahat.
Tidak ada bedanya jika ada film tentang kasus korupsi lalu koruptornya di dalam bui berdoa atau shalat, itu sama sekali tidak berarti merepresentasikan Islam/umat Islam itu jahat.