JAKARTA, Pelitajakarta.com – Komunitas musik Kumpulan Bunyi Sunya, menggelar ‘ruwatan’ di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Sabtu (4/11/2017), melalui pementasan ‘Ruwa(T)elinga’.
Istilah Ruwat merupakan sarana membersihkan diri. Namun dalam konteks pementasan ini, Lawe Samagaha selaku komposer, ingin berbagi pesan tentang persoalan desibel, yakni ukuran intensitas suara. “Telinga kita sehari-hari, terlebih di Jakarta, sudah dijejali dengan bermacam kebisingan. Nah, kami meminjam Baduy sebagai landscape sekaligus soundscape menjadi sebuah teks dalam bentuk konsep pementasan ini,” papar Lawe Samagaha, seniman jebolan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.
“Normalnya pendengaran suara sudah diteliti panjang oleh beberapa ahli, berada pada angka 90 ke bawah. Tapi setelah dalam beberapa tahun terakhir ini saya bersama beberapa kawan melakukan penelitan di Baduy, ditemukanlah suatu kesimpulan bahwa Baduy merupakan salah satu surga desibel, surga dimana landscape dan soundscape-nya dibawah standar normal,” terang Lawe merupakan pendiri Kumpulan Bunyi Sunya.
Pentas musik ‘Ruwa(T)elinga, dibawakan oleh Didit Alamsyah, Tommy Setiawan, Syechabuddin Akbar, Doni Dartafian, dan Lawe Samagaha. Lawe menjelaskan bahwa beberapa instrumen yang dimainkan merupakan instrumen asli Baduy, seperti kecapi, suling dan angklung, yang frekuensinya tidak melebihi standar desibel. “Lalu ada satu instrumen yang kami buat sendiri,” katanya.
Kumpulan Bunyi Sunya, merupakan komunitas musik yang berdiri sejak tahun 1998. Kelompok yang didirikan Lawe Samagaha ini memang berusaha mengeksplorasi musik-musik etnik dan tradisional, dimana para anggotanya juga eksis di dunia teater, tari, penata artistik panggung, seni rupa dan seni gerak.