JAKARTA, Pelitajakarta.com – Sebuah acara ‘Ngobrol Kreatif’ digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Sabtu (21/10/2017) lalu, mengiringi peluncuran buku terbaru karya Agus Noor berjudul ‘Cinta Tak Pernah Sia-Sia’. Dalam obrolan yang dipandu moderator Sha Ine Febriyanti ini, Agus Noor, sang penulis, membeberkan perjalanan proses kreatifnya dalam dunia kepenulisan, karena buku yang diluncurkan kali ini, memang berisikan 37 cerita pendek karya Agus Noor yang pernah dimuat di suratkabar Kompas Minggu dalam kurun waktu 27 tahun, yakni sejak cerpen pertamanya berjudul ‘Kecoa’ (1990) hingga cerpen ‘Lelucon Para Koruptor’ (2017).
Lewat judul buku ‘Cinta Tak Pernah Sia-Sia’, penulis kelahiran Tegal, 26 Juni 1968 ini ingin berbagi keyakinannya, bahwa mencintai dunia kepenulisan seperti yang dia jalani, pada akhirnya tidak akan pernah sia-sia. “Bahwa sesuatu yang kita pilih dengan yakin, sesuatu yang kita cintai dan kita rawat, akhirnya tidak pernah sia-sia. Termasuk di dalam dunia kepenulisan,” tegas Agus yang telah menerbitkan belasan buku, di antaranya, ‘Selingkuh itu Indah’ (2001), ‘Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia’ (2011), ‘Cerita Buat Para Kekasih’ (2014), dan ‘Hakim Sarmin Presiden Kita’ (2017).
Dalam acara ‘Ngobrol Kreatif’ yang juga dihadiri penulis Dewi Ria Utari serta sejumlah penikmat sastra, penulis-penulis muda, atau bahkan calon-calon penulis itu, Agus sekaligus berbagi tips dan pengalamannya. “Penulis yang baik harus punya sparing partner. Dulu tahun 80an kita punya tradisi kelompok diskusi. Dalam diskusi itu, karya kita akan ‘diadili’. Untuk itu dibutuhkan kerelaan mendengar, tapi itu penting bagi seorang penulis,” ujar Agus. “Bukan kelompok ‘like dan love’ seperti yang banyak terjadi sekarang ini. Yang banyak terjadi sekarang, ketika posting misalnya di instagram, yang ada hanya puja-puji, like, like.. tapi tidak terjadi diskusi, sehingga hal ini tidak akan membuat kita berkembang.”
Lebih lanjut, Agus menuturkan, dirinya merasa beruntung karena di era 80an ketika mulai terjun ke dunia kepenulisan, ia berada di lingkungan sosial yang mendukung, lingkungan pergaulan kreatif yang menyenangkan. Selain itu, di pertengahan 80-an sampai 90-an pun, sejumlah surat kabar memberi porsi yang lumayan besar untuk berkembangnya karya sastra, termasuk cerpen. Hal inilah yang kemudian, membuat Agus semakin produktif dalam menulis.
“Di mana ada gelanggang yang terbaik, persaingan yang paling ketat, saya harus terjun ke sana, bertarung habis-habisan di sana. Dengan begitu kita jadi bisa menakar kualitas tulisan kita. Kalau (cerpen) saya nggak tembus Kompas, mungkin belum tentu saya akan jadi penulis..,” kata Agus yang juga dikenal sebagai penulis naskah program televisi ‘Sentilan Sentilun’ dan naskah-naskah lakon panggung produksi Indonesia Kita.