JAKARTA, Pelitajakarta.com – Cipta Croft-Cusworth, pria berdarah Padang-Inggris, meluncurkan buku Memoar-Grafis pertamanya berjudul ‘Buku Kuku Ku’, yang dilangsungkan di toko buku Aksara, Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (11/11/2017). Keunikan novel ini bukan hanya dari judulnya saja, tapi juga isinya yang dipenuhi dengan gambar dan ilustrasi, serta kisah yang diangkat dan ditulis dalam dua bahasa.
Cipta menuturkan bahwa buku perdananya ini ditulis sejak tahun 1997. “Jadi sudah 20 tahun. Awalnya waktu saya kuliah, papa saya meninggal. Ini mungkin cara saya untuk mengatasi penderitaan dan kesedihan atas kehilangan itu. Jadi saya gambar aja terus, tanpa tujuan untuk dibuat buku. Tapi entah kenapa, saya baru menyadari bahwa gambaran-gambaran itu ada ceritanya, meski pada akhirnya tokoh-tokoh yang saya ciptakan tidak ada hubungan dengan ayah saya,” terang Cipta, pria bule yang sudah sangat fasih berbahasa Indonesia ini.
Lebih lanjut, Cipta mengisahkan bahwa pada awalnya, karya ini memang berupa gambar. “Belum ada kata-kata pada saat itu. Baru kemudian saya tuangkan gambar itu ke dalam bahasa dan kata-kata,” jelas putra dari pasangan Lily Munir, mantan wartawati dan penulis novel, dengan ilmuwan asal Inggris, Croft Cusworth.
Buku Kuku Ku ditulis dalam dua bahasa; Indonesia dan Inggris. Penulisan dalam dua bahasa itupun, menurut Cipta, setelah ada pihak publisher yang ingin menerbitkannya.
Sementara itu, Oyong Sofyan dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, sempat menyampaikan catatannya dalam acara peluncuran Buku Kuku Ku. Oyong menilai buku ini menarik dari segi isinya.
“Isinya menarik karena banyak pesan tentang filsafat kehidupan. Kita tidak bisa langsung paham dalam sekali baca, karena isinya padat dan bahasanya bertenaga. Walau dibantu dengan ilustrasi ataupun grafis di tiap halaman, tetap saja kita harus termenung dulu untuk memahaminya,” katanya.
Membaca novel memoar ini, lanjut Oyong Sofyan, kita disuguhkan dengan tokohnya yang aneh-aneh, tapi penuh dengan tanda-tanda kehidupan antara bumi dan alam gaib. “Pengarang ini luas sekali imajinasinya, terutama dalam menciptakan idiom-idiom pelaku atau tokoh-tokohnya,” tegas Oyong.
Buku ini sedikit terilhami dengan hubungan antara ayah dengan anak, sehingga bisa dikatakan sebagai memoar. Novel ‘Buku Kuku Ku’ ini juga bisa disebut novel puisi karena padat isi dan bahasanya puitis. Dengan buku ini, pengarang mengajak kita untuk merenungi apa makna hidup yang sementara ini.
“Membaca novel ini mengingatkan saya pada novel-novel Iwan Simatupang sebagai pembaharu sastra Indonesia di tahun ‘60an, yang oleh pengamat sastra Indonesia sebagai pembaharu karena plot atau jalan ceritanya aneh atau tidak umum ketika itu,” kata Oyong.
Di akhir sambutannya, Oyong Sofyan berharap akan lahir lagi karya-karya selanjutnya dari Cipta Croft. “Saya mengharapkan kepada pengarang buku ini, Cipta, novel pertama ini bukan yang terakhir. Saya yakin pengarang ini mampu menulis dengan baik, karena usianya masih muda, masih banyak tenaga untuk bekerja kreatif. Pengalaman sejati, pahit getirnya kehidupan adalah salah satu lahan atau sumber bagi seorang pengarang,” pungkas Oyong.