JAKARTA, www.pelitajakarta.com – Pegiat Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran (KNRP) Ignatius Haryanto menilai Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang dibahas DPR lebih memihak kepada industri penyiaran besar daripada kepentingan publik.
“Selama ini, proses pembahasan di DPR terkesan tertutup dan lebih menerima masukan dari lembaga penyiaran atau asosiasi industri penyiaran,” kata Haryanto di Jakarta, Minggu.
Haryanto mengatakan selama ini sejumlah kelompok publik tidak dapat memberi masukan dalam proses pembahasannya. Hal itu terlihat dari beberapa permintaan pertemuan kepada Komisi I dan Badan Legislasi DPR yang tidak dihiraukan.
“Kami hanya dapat memberi masukan di awal pembahasan, itu pun dengan fraksi atau perwakilan fraksi di DPR. Masukan-masukan tertulis yang disampaikan kelompok masyarakat sipil tidak diketahui sampai atau tidak, dipakai sebagai masukan atau tidak,” tuturnya.
Padahal, proses pembahasan RUU Penyiaran termasuk lama. Sejak naskahnya selesai dibahas Komisi I pada Februari 2017, RUU tersebut dibahas di Badan Legislasi selama delapan bulan. Itu pun rapat pembahasan bersama Badan Legislasi dan Komisi I berulangkali ditunda.
Hingga akhirnya, kata Haryanto, rapat terakhir pada Selasa (3/10) tidak mencapai keputusan karena pada saat-saat terakhir terjadi kebuntuan atau “deadlock” tentang penyelenggaraan multiplekser.
Pegiat KNRP Ade Armando mengatakan pada Selasa malam pukul 21.00 saat itu sebenarnya sudah diambil pengambilan suara tentang multiplekser dengan pilihan sistem multiplekser tunggal atau “single mux” dan “multi mux”.
“Saat itu, hasil pengambilan suara terbanyak adalah lima banding empat dengan suara terbanyak pada ‘single mux’. Namun, dua atau tiga jam kemudian Fraksi Golkar menyatakan mundur dari pembahasan diikuti fraksi-fraksi lain yang menginginkan sistem ‘multi mux’,” katanya.
Hasil dari pengambilan suara terbanyak akhirnya dibatalkan dan pembahasan diputuskan ditunda meskipun, menurut Ade, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PAN dan Fraksi Partai Hanura tidak setuju dengan penundaan itu.